Cuplikan-Cuplikan Rumah Ria dan Indra

Posted by

(Cuplikan Malam Pertama)
RIA :
Aku masih perawan saat menikah dengan Indra. Aku tak tahu apakah ia masih perjaka. Ia terlihat begitu kuno dan kaku. Tubuhnya yang kurus begitu rapuh dan pemalu. Aku melihat dadanya yang tipis bergetar demikian pula kedua kakinya. Tiba-tiba aku teringat akan flamingo merah jambu, saat ia telanjang di hadapanku. Tapi mana aku tahu apa yang pernah dilakukannya dahulu? Lelaki tetaplah lelaki. Dan sungguh aku tak peduli akan hal itu.
Aku ingat benar, betapa jengah saat pertama kali sekamar dengannya dan melihat ia terbaring. Piyama yang dipakainya terlalu besar untuk tubuh kurusnya. Ia terlihat mirip orang-orangan sawah! Aduh mengapa pula aku mencelanya? Ia suamiku kini, dan aku melihat ia mulai gelisah.
Aku membuka jubah. Lingerie berdada rendah membungkus tubuhku. Aku memilihnya sendiri, tapi kini aku berpikir apakah ini ada arti buatnya. Matanya nanar menatap sesuatu yang tersembul dari balik lingerie. Aku merasa kasihan melihat nafsunya yang menghentak, entah karena apa. Sedangkan aku sendiri sungguh berbangga memiliki payudara selembut ini. Mengapa ia tak beranjak dari tempatnya berbaring. Haruskah aku membuka ini, untuknya?
Tiba-tiba lampu padam. Aku merasa sebuah tangan menarikku, aku terjatuh menimpa tubuhnya. Sesuatu yang bergelora dan energi aneh muncul dari tubuh pucatnya. Ia menjadi semakin hidup dalam gelap. Aku menyalakan lampu dan melihatnya telah telanjang. Flamingo merah jambu yang terkejut."Aku takut gelap."Ia tak peduli dengan perkataanku. Ia menatapku dengan nanar dan gemetar,"Buka.
"Bukan aku yang mengerjakan, tetapi ia. Tangannya seperti sulur sedemikian cepat melucuti. Aku telanjang. Aku biarkan ia menelusur. Aku tahu ia dahaga, tetapi mengapa sekujur tubuhku basah oleh saliva? Aku biarkan ia melukisku dengan lidah. Saat itu aku membayangkan kami adalah obyek lukisan yang belum selesai. Ruang tidur kami adalah kanvas yang luas. Kuas bergerak ke kiri, kanan, atas, dan bawah. Kami bergumul dan bergerak. Dan berhenti pada suatu titik: saat panggulnya mengejang dan ia selesai. Bukan aku.
INDRA :
Aku pernah bertanya pada Ria, apakah ia masih perawan. Namun istriku tak menjawab, dan balik bertanya apakah itu penting bagiku? Ia juga bilang, apakah ia pernah mempermasalahkan aku perjaka atau tidak. Aku tak berani melanjutkan percakapan. Aku tak tahu apakah aku masih perjaka atau tidak. Tetapi saat aku melihat istriku menanggalkan jubah dan terlihat lingerie-nya aku ingat seorang perempuan. Ya, seorang perempuan profesional.
Aku terjerumus oleh teman-teman dan keinginanku sendiri. Saat itu aku memasuki kamarnya yang merah jambu. Aku tak tahu harus memanggilnya apa. Ia memandangku menantang seakan berkata: cepatlah. Kami seperti kanak-kanak saat menanggalkan baju. Aku cepat-cepat meremas tubuhnya. Sedang ia langsung menyeruput pusat segala demamku.
"Apa yang kau..?" tanyaku bergetar tak tuntas.Aku melihat tapi tidak berpijak. Melayang, dan segala sensasi bertaburan. Tiba-tiba segalanya berhenti. Aku menatapnya sedang menyeka bibirnya. Aku mencium bau yang aku kenal benar semenjak pubertas. Bau itu meruap, segala penjuru. Bau jamur dan lumut. Saat itu aku hanya mampu menatap dadanya. Dan kini pada dada Ria, istriku. Penuh dan bergelora.Lampu aku matikan, aku ingin membunuh perempuan dari ruang merah jambu itu. Tapi Ria menyalakan lampu dengan cepat. Aku tak mendengar jelas apa yang ia ucapkan. Nampaknya ia bergumam.
Aku membukanya dengan lembut. Tanpa tergesa. Demikian pula saat aku menelusuri dadanya dan membuat tanda di sana. Sesuatu yang asin. Ah, betapa masih panjang perjalanan malam ini. Terlalu banyak yang dipunyai Hawa untuk ditelusuri Adam. Tiba-tiba istriku telah menggeliat dengan pupil mata membesar. Ya, aku rasa ia orgasme. Begitu cepat?
Padahal saat itu aku baru memulai pencarianku dalam suatu lorong yang pekat. Aku tak perlu lampu badai. Karena akulah penerang dan akulah sang badai. Sedemikian pasir diriku, hingga istriku memejamkan mata. Ia takut pasir membuat merah matanya, tapi bukankah dadanya telah memerah semenjak tadi? Aku mendengar irama perang bertalu-talu pada dadaku. Aku Indian, aku Indian yang mengacungkan kapak! Kita rampas tanah kita bersama, ayolah! Dan lolongan itu bukan dari serigala yang menyambut bulan. Dari mulutku, dari mulutnya. Kami mengakhiri tetabuhan secara bersama. Ya, bersama.&&&
(Cuplikan Ruang Makan)
RIA :
Aku harus terbiasa membuat kopi. Dua sendok kopi dan satu sendok gula, itu pesannya. Cangkir besar yang bertulis kata "Papa" aku siapkan untuknya. Aku sibuk mengolesi roti dengan mentega. Ia memelukku dari belakang,
"Untuk siapa?"
"Untukmu."Siapa lagi, tanyaku dalam hati. Ia melingkarkan tangannya yang kurus ke perutku. Sebagian tangannya menyentuh payudaraku. Aku merasa rasa hangat yang menjalar. "Nggak usahlah kau olesi mentega."
"Roti putih?"Roti putih saja, tanpa mentega, lanjutku dalam hati. Ia menggeleng. Rambutnya yang jatuh ke dahi
bergoyang-goyang.
"Aku mau nasi..
"Aku membatin, ia mau nasi. Kenapa tak bilang dari tadi? Aku melangkahkan kaki. Tangannya yang melingkar serasa berat dilepaskan. Aku merasa seperti tanaman perdu dan ia benalu. Terlalu kejamkah? Tidak, jangan berpikiran seperti itu. Aku menyukai, maka aku menikahinya. Cukupkah rasa suka untuk sebuah pernikahan? Aku rasa cukup. Apalagi yang dicari perempuan, bila cinta tak kunjung datang?Aku mencuci beras dan memasukkannya dalam rice cooker. Ia berdiri menatap. Ia bersinglet dan bersarung. Ada yang bergelora di sebalik motif sarung tenun yang dipakainya. Mengapa sepagi ini kau ingin terbang?
"Nasi masih lamakan? Kita mandi.."
INDRA :
Aku menatap punggungnya yang setengah terbuka. Aku belum menelusurinya kemarin. Aku mengendap dan memeluknya. Ia sedang mengolesi roti dengan mentega.
"Untuk siapa?"
"Untukmu."
Ia terdiam. Aku merasa ingin meledak saat mendekapnya. Aku menggeser tanganku agak ke atas. Benarkah payudara perempuan menegang saat terangsang? Ia menggeliat. Aku berbisik ke telinganya.
"Nggak usahlah kau olesi mentega."
"Roti putih?" tanyanya dengan dahi berkerut. Mengapa kau secantik ini, makiku dalam hati. Aku menggeleng dan menampar pipinya dengan rambutku. Ia tak bereaksi.
"Aku mau nasi."
Bibirnya agak ia tarik ke samping. Mungkin ia kesal. Tapi ia istriku, apa salahnya meminta? Tubuhnya kembali membelakangiku. Ia mencuci beras. Tubuhnya agak membungkuk. Aduhai, ia memancingku? Siluet tubuhnya dalam pakaian tipis itu. Samar panggulnya. Lekuk itu berhenti pada suatu ceruk…aku menelan ludah. Dasar perempuan, mengapa ia hanya memancing. Mengapa ia tak pernah meminta?
Istriku berbalik dan berjalan ke arahku. Aku ingin meledak. Dan ia menatap ke bawah pusar. Dasar perempuan. Masih juga bermain isyarat.
"Nasi masih lamakan? Kita mandi.."&&&
(Cuplikan Kamar Mandi)
RIA :
Ia membuka piyama tipisku dengan cekatan. Wajah kami memantul pada cermin wastafel. Payudaraku yang muda. Mengepal seperti apel. Dan laba-laba itu. Mengapa laba-laba merayap di buah pohon apel? Aku mendengar desis ular. Dan jilatan itu. Aku teringat kucing siam pemberian Oma saat aku ulang tahun ke sembilan. Oh aku rindu pada masa kanak-kanak. Aku tersentak, saat sadar Indra mencengkramku dengan keras. Wajahnya nampak puas. Wajah kanak-kanak memerah jambu. Aku jadi ingat mama menyusui adik bungsuku. Mengapa laki-laki suka menyusu?
Wajahnya serius seakan mengerjakan fisika. Siapa yang peduli fisika saat begini? Tapi aku teringat proses kimiawi. Adrenalin yang memacu. Apa yang terpacu dalam darahku? Mengapa aku tak menari tango saat aku menginginkannya? Tubuhnya meliuk seperti penari kecak. Oh api, api itu bukan berasal dari tubuhnya. Ia penari dan bukan api. Api, api, mengapa aku berpikir tentang api? Aku merasa panas dan sesak, oh tidak. Aku mendorong tubuhnya perlahan. "Air.
"Bibirnya masih bergayut pada sayap badanku. Mengapa vampir mengecup leher, bukan sayap?
INDRA :
Aku mengecup leher dan bahunya sebelum aku menjatuhkan piyamanya ke lantai. Dalam cahaya lampu dan sinar matahari yang menerobos, aku baru sadar bentuknya. Payudaranya tak terlalu besar atau kecil. Tetapi putingnya seperti putik mendongak menantang matahari. Jemariku adalah kumbang. Terbang dan menari-menari. Istriku secara tiba-tiba melengkungkan tubuhnya. Tak sadarkah ia, bahwa sikap tubuhnya itu membuat kedua bahunya menekan payudaranya hingga terlihat semakin membesar? Atau ia terangsang? Perempuan cantik yang terangsang itu istriku, aku memaki dalam hati.
Apakah semua perempuan menutup matanya saat hanyut? Aku melihat ia membuka matanya sedikit saat aku membuat tato tak permanen dengan saliva di dadanya. Istriku menutup matanya kembali. Aku ingin membuat tato naga. Naga perempuan yang birahi. Maka aku terus menyusur dan berputar, seperti tarian barongsay. Hingga sampai pada sayap tubuhnya. Menakjubkan. Tekstur daging perempuan teramat lembut. Para perempuan mungkin penyimpan lemak. Dan aku mengunyah sedikit lemak pada sayap tubuhnya. Hingga tiba-tiba ia memegang bahuku yang setengah membungkuk pada tubuhnya.
"Air."
Ia menatapku cemas. Aku tak tahu apa maksudnya. Namun aku biarkan ia berlari keluar kamar mandi. Dadaku berdetak. Aku menatap wajahku pada cermin, mengapa aku terlihat begitu merah, dan remaja?&&&
(Cuplikan Ruang Makan)
RIA :
Aku tadi lupa sedang memasak air untuk kopi. Aku menggoreng dua butir telur. Indra sedang membaca koran. Aku meletakkan telur itu pada piringnya. Ia tak menoleh. Mengapa lelaki selalu serius saat melakukan satu pekerjaan? Hanya fokus satu pekerjaan? Aku teringat lelucon jorok bahwa perempuan bisa bercinta sekaligus membaca koran dan saat si lelaki telah orgasme, si perempuan bertanya,
"Sudah?"
Entah siapa yang berkata sudah. Indra rupanya menanyakan telur dadarnya. Ia celingukan.
"Nasi?"
Aku menunjuk rice cooker. Aku mencuci tempat mengaduk telur dan penggorengan. Aku mengambil piring dan berniat menyendok nasi di rice cooker. Astaga, ia mengambil nasi tepat di tengah-tengah. Mengapa ia tak mengambil dari pinggir? Sendokannya meninggal bekas semacam kawah. Apakah ia tak tahu tata cara makan yang benar, termasuk menyendok nasi? Aku duduk di hadapannya. Mengunyah dan mengunci mulut. Ia terlihat tak peduli. Dan aku tak peduli.
INDRA :
Rupanya istriku lupa kalau ia memasak air. Mungkin begitulah pengantin baru. Yang diingatnya hanyalah tarian demi tarian, pagutan demi pagutan, ritual persemaian. Aku sebenarnya sempat jengkel saat ia tiba-tiba keluar kamar mandi. Pernahkah terbayangkan saat kita terbakar, dan air mengguyurnya? Walau tak padam benar, tapi menyisakan asap yang membuat kabur pandangan. Serta memedihkan mata, menjengkelkan! Maka aku membaca koran hari ini. Sesungguhnya aku tak mengerti apa isi yang kubaca. Hanya untuk pengalihan energiku yang terputus. Kepalaku berdenyut. Mungkin sugesti. Mungkin aliran darah yang terpacu dan tiba-tiba melambat bisa membuat sakit kepala. Aku tak tahu. Ah mengapa aku harus memikirkan ini? Aku melipat koran,
"Sudah?"
Sepertinya istriku juga berkata, sudah dengan kalimat tanya pula? Ah, mungkin ia bertanya apakah aku sudah selesai membaca koran.
"Nasi?"
Ia menunjuk rice cooker, mengapa ia tak sediakan dalam wadah dan membawanya ke meja. Dasar perempuan kota. Tapi aku tersenyum saat mengucapkannya dalam hati. Bagaimana pun aku mencintainya. Aku menatap ia saat mencuci, entah apa. Ia berbalik dan mengambil piring dan bersiap menyendok nasi. Wajahnya terkejut saat membuka rice cooker. Aku tertawa dalam hati, apa ia tak menyangka aku yang sekurus ini mampu makan demikian banyaknya? Ia duduk dan mengunyah. Mengapa wajahnya cemberut? &&&
(Cuplikan Ruang Tamu)
RIA :
Aku suka melihat caranya berkacak pinggang. Bukan angkuh. Tetapi terlihat kukuh. Tak begitu kuperhatikan tubuhnya yang kurus. Ia menunjuk dinding dan berjalan ke arah jendela. Ia sedang membuat rencana, tentang warna, dan tekstur kain. Mengapa ia tidak bersikap seperti ini saat ia bercinta: penuh percaya diri. Bukan seperti orang kelaparan yang telah menempuh jarak bermil-mil; rakus tapi tidak menikmati apa yang sedang dikunyahnya. Ia melirik ke padaku.
"Bagaimana?"
Aku menggeleng. Aku tak setuju dengan rencananya. Masakan rumah sekecil ini akan berenda-renda seperti jaman Victoria? Ia suka klasik dan aku suka retro.
Ia nampak mempertimbangkan. Aku tahu ia keras kepala. Tapi bila terbentur denganku, ia akan melemah. Kadang kala aku suka dengan sikap mengalahnya. Kadang kala aku suka dengan kekeras kepalaannya. Saat ini aku melihat ia mulai ragu. Aku juga berkeberatan dengan usulan memasang beberapa barang yang menurut sahabatnya yang cenayang harus dilakukan.
"Ini bukan mengada-ada, ini feng shui."
"Aku percaya setiap rumah bagus."
Ia menghela nafas. Ia mengeluarkan telpon genggam dan mulai menulis sms. Aku mencela sikap pengaduannya.
"Cenayang itu?"
"Bukan."
Ia duduk di kursi taman yang sementara kami letakkan di ruang tamu. Ia mendongak dan berkata,
"Aku punya teman desain interior, rasanya ia beraliran retro. Kita bisa berdiskusi tentang rumah kita."
Aku menatapnya agak kecewa. Mengapa saat aku menginginkan argumennya, ia malah menuruti apa kataku. Aku sebal, karena ia tak pernah tahu, mana yang benar-benar aku inginkan atau yang mana aku butuh argumen darinya agar bisa memutuskan sesuatu yang tak mengecewakan kami berdua.
INDRA :
Aku memergoki istriku menatap. Ada senyum dan kagum di bibirnya. Kadang aku bertanya dalam hati, apa yang ada dalam benaknya? Aku baru saja memberi penjelasan tentang warna yang aku pilih. Pilihan perabot, jenis kain, berteksturkah atau yang lembut, motif, dan aku ingin ada perabot "khusus" masukan dari teman milist-ku yang paham akan feng shui. Aku bertanya,
"Bagaimana?"
Ia menggeleng dan mulai berkicau. Aku menikmati caranya bicaranya. Bibirnya yang menutup buka. Ia menjelaskan tentang gaya retro yang menurutku pengetahuannya tentang itu sangat pas-pasan. Begitu beraninya ia menilai tentang pilihanku. Aku terbiasa riset kecil-kecilan. Telah kukumpulkan banyak info dan gambar. Belum lagi ia mencela temanku yang memberi masukan tentang tata letak perabot. Aku terbiasa dengan kecerewetannya. Pun saat aku mengambil telpon genggam dan mengirim sms pada temanku yang tahu tentang gaya retro. Ia mencibir dengan kecurigaannya.
"Cenayang itu?"
Aku menjawabnya dengan malas, dan duduk di kursi. Aku memberi penjelasan dengan siapa aku mengirim sms.
Anehnya, ia menatapku dengan kecewa. Apa yang ada di benaknya? Saat aku ngotot ia marah, saat aku mengalah ia kecewa. Aku tak pernah habis mengerti tentang perempuan. Pun saat menikah dengannya. Aku mencoba mengurangi segala keras kepalaku. Aku baru saja mendapat hadiah buku tentang pemikiran Rumi dari seorang sahabat. Aku mencoba menginterpretasi sudut pandangnya.
Menurutnya cobalah secara tulus dalam mencintai perempuan. Sanjunglah mereka. Karena itu yang mereka inginkan. Dan bilanglah ya, seperti kita menjawab ya pada ibu kita –walau tentu saja jangan pernah menyamakan ia dengan ibu kita-. Jangan berbantahan dengan mereka. Karena saat lelaki bilang a, perempuan akan mencari jalan mengatakan b. Teman diskusi kita adalah para sahabat lelaki. Karena berbantahan dengan perempuan akan membuat suatu hal menjadi mentah.
Maka aku memilih tidak berbantahan dengan istriku. Tapi mengapa aku masih melihat kecewa di matanya? &&&
(Cuplikan Ruang Tidur)
RIA :
Aku tidur memunggunginya. Apa yang ia pikirkan tentang aku sebenarnya. Ia sungguh tidak peka. Ia tidak mampu melihat ekspresiku dan malah mengajakku bersetubuh. Aku mengaku masih kedatangan tamu. Itu cara aku menolaknya. Kalau pun aku memberikan apa yang ia mau, apakah ia mau memberi yang aku mau? Ia selalu selesai sebelum aku mulai. Padahal aku menumpuk majalah life style di kamar tidur. Agar ia membaca, dan tahu apa yang aku inginkan.
Ia menggaruk-garuk kepalanya. Biarlah, sesekali menolaknya. Ia membolak-balik tubuhnya. Ia tentu gelisah. Sesekali menghukum ternyata menyenangkan. Ia seperti anak kecil yang kebelet pipis tapi tak berani bilang pada gurunya yang galak. Aku menutup mata saat aku rasakan ia bangkit dari tidur dan duduk pada tepi ranjang. Kakinya menggesek di lantai mencari sandal. Kemudian terdengar bunyi sandal yang diseret. Apa yang ia lakukan? Ternyata ia masuk ke kamar mandi. Dan menutup pintu dengan keras. Tiba-tiba aku sedih membuatnya gelisah. Dan bukankah malaikat mengutuk sampai pagi, bagi istri yang menolak suaminya bersetubuh?
Terdengar suara keran. Dan aku mengetuk pintu kamar mandi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ia benar-benar marah padaku. Aku menghela nafas.
INDRA :
Mengapa ia kerap kesal hanya karena hal-hal kecil. Cemberut di ruang makan. Atau masalah perabot yang menurutku bisa dikompromikan. Itu masalah kecil. Kami cocok tentang banyak hal. Tak ada masalah keuangan, juga dalam hal seksual. Semuanya lancar. Ah ya sudah. Tak ada yang perlu dibahas. Aku takut dianggap mempermasalahkan masalah yang tidak ada. Mungkin begitulah perempuan. Tadi aku tanya, apakah ia masih kedatangan tamu, ia bilang masih. Aku rasa itu pasti sangat berpengaruh pada kondisi psikisnya.
Aku lelah. Pekerjaanku menumpuk. Dan aku ingin tidur cepat. Tapi kepalaku pusing. Ah, mengapa datang bulannya lama sekali. Aku menghitung jari berapa lama aku memendam ingin sendiri. Mungkin aku perlu menyelesaikannya secara cepat di kamar mandi. Agar aku bisa tidur tenang. Aku bangkit dari tidur, aku melirik ke arahnya. Istriku memunggungiku. Setengah menyeret sandal kamar aku menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi aku menyalakan keran. Bunyinya agak keras. Hanya butuh waktu sebentar, agar aku bisa tuntas dan kemudian dapat tidur pulas.
Tiba-tiba terdengar bunyi kamar mandi diketuk. Aku mempertajam pendengaran. Dua kali, tiga kali, dan berhenti. Ah, mengapa istriku harus berbasa-basi padaku? Bukanlah ia telah tahu segala rahasia hatiku, dan semua celah tubuhku? Aku masih duduk di kloset dan menunggu.
Jakarta, 4 September 2004
"Gerahambungsu" dalam Millis Cybersastra


Blog Updated at: 7:25 PM