"Kesaksian” Pasutri Islam dan Konghucu

Posted by

Ahmad Nurcholish dan Ang Mei Yong
Perkawinan Ini adalah Langkah "Eksperimentasi" Saya


Persoalan di atas bermula dari perkawinan Nurcholish (27 tahun) dengan Mei (24 tahun) dua pekan lalu. Perkawinan tersebut dilakukan dalam “dua metode.” Ijab kabul secara Islam dengan mas kawin 8,8 gram emas dilakukan di Islamic Study Center Paramadina, Jaksel. Dr. Kautsar Azhari Noer bertindak sebagai wali Mei sekaligus yang menikahkan kedua mempelai secara Islam, sedangkan Ulil Abshar-Abdalla sebagai saksi. Sementara, perestuan secara Konghucu dilakukan di ruangan lithan Sekretariat Matakin di Sunter Jakarta Utara.

Ahmad Nurcholish mungkin sudah menduga bahwa perkawinannya dengan Ang Mei Yong, seorang perempuan Konghucu akan memantik reaksi keras dari pengelola Masjid Al-Azhar, Jakarta. Bagaimanapun aktivitas Nurcholish selama ini sebagai pengurus teras di Youth Islamic Studi Club (YISC) Al-Azhar jelas memancing keberatan dari pihak masjid bilamana Nurcholish bersikukuh menikahi Ang Mei Yong, pemudi Konghucu. Sebab, seperti dikatakan Heru Widiyanto, Ketua Umum YISC, “Misi dakwah YISC tak bisa melawan mainstream pemikiran yang ada di masyarakat” (Majalah Gatra, 21 Juni 2003, h. 18-19). Pekan lalu Nurcholish mengajukan surat pengunduran dari kepengurusan YISC, untuk mengindari kontroversi lebih jauh.
Persoalan di atas bermula dari perkawinan Nurcholish (27 tahun) dengan Mei (24 tahun) dua pekan lalu. Perkawinan tersebut dilakukan dalam “dua metode.” Ijab kabul secara Islam dengan mas kawin 8,8 gram emas dilakukan di Islamic Study Center Paramadina, Jaksel. Dr. Kautsar Azhari Noer bertindak sebagai wali Mei sekaligus yang menikahkan kedua mempelai secara Islam, sedangkan Ulil Abshar-Abdalla sebagai saksi. Sementara, perestuan secara Konghucu dilakukan di ruangan lithan Sekretariat Matakin di Sunter Jakarta Utara.
Demikianlah, perkawinan Nurcholish dan Mei telah digelar. Nurcholish yang pernah nyantri di Pesantren al-Faqih dan putra dari guru agama di sebuah desa di Grobogan ini memberikan “kesaksian” pada Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Ahmad Nurcholish datang ditemani sang istri tercinta, Ang Mei Yong. Wawancara berlangsung pada Kamis, 19 Juni 2003:
ULIL ABSHAR ABDALLA: Mas Nurcholish, Anda memutuskan untuk menikah dengan perempuan Konghucu. Apakah Anda yakin pernikahan Anda dengan Ang Mei Yong sah menurut agama Anda?
AHMAD NURCHOLISH (AN): Ya, pertama-tama saya berangkat dari asumsi bahwa pernikahan saya sah. Secara teologis, paling tidak menurut apa yang saya pelajari, pernikahan beda agama (PBA) antara laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim sah menurut Islam (larangan yang ada hanya atas orang musyrik. Lihat Alquran surat al-Baqarah ayat 221, Red).Yang kedua, saya ingin menguji kebenaran asumsi yang berkembang di masyarakat yang mengatakan bahwa PBA akan memunculkan banyak konflik atau ditengarai rentan perceraian. Jadi, boleh dikatakan bahwa pernikahan ini merupakan sebuah “eksperimentasi” yang ingin saya buktikan sendiri.
ULIL: Anda berani bereksperimentasi dengan persoalan serius dan sesakral ini?
AN: Ya, sebelum ini saya pernah menjalin hubungan dengan penganut Katolik dan Protestan, tapi nyatanya tidak pernah berani hingga ke pelaminan. Jadi, ini kali yang ketiga saya menjalin hubungan dengan perempuan beda agama. Bahkan hubungan kami ini berlanjut hingga ke tahap yang lebih serius, yakni pernikahan.
ULIL: Mbak Mei, adakah konflik batin dalam diri Anda ketika memutuskan menikah dengan pemuda muslim?
ANG MEI YONG (AMY): Awalnya saya merasakan konflik batin, apalagi saya boleh dikatakan sebagai “korban eksperimentasi” suami saya ha..ha..ha..Tapi belakangan ini, saya sadar bahwa perkawinan ini memang wajar saja. Bukan hal yang perlu dikatakan haram atau apapun. Terlebih lagi, ada kakak kandung saya yang melakukan pernikahan beda agama. Secara otomatis, pernikahan beda agama ini bukan sesuatu yang baru dalam “tradisi” keluarga.
ULIL: Dalam pandangan Konghucu, apakah pernikahan Anda sah?
AMY: Sah. Setahu saya, hanya ada satu ayat dari kitab suci Konghucu yang mengatakan bahwa “pernikahan itu harus dilakukan dengan orang yang berbeda marga.” Ajaran Konghucu, setahu saya, tidak banyak membahas tentang hal-hal yang berkenaan dengan pandangan agama mengenai perkawinan.
ULIL: Hukum fikih yang konvensional membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan nonmuslim dari golongan ahli kitab. Tapi Mas Nurcholish, Anda menikah dengan perempuan dari agama Konghucu. Apa Anda menganggap Konghucu sebagai ahli kitab?
AN: Kalau kita melihat beberapa tafsir, kebanyakan ahli tafsir memang membatasi ahli kitab hanya bagi penganut Yahudi dan Nasrani. Lebih dari itu, pembatasan itu pun lebih ketat lagi: yaitu pada Yahudi dan Nasrani yang hidup di zaman Nabi Muhammad saja. Saya kemudian bertanya, kalau itu hanya berlaku pada zaman Nabi saja, bukankah Yahudi dan Nasrani yang hidup di zaman Nabi itu sama saja dengan yang zaman sekarang? Kalau asumsinya, kitab suci Yahudi dan Nasrani telah terjadi tahrif (penyimpangan), bukankah tahrif telah terjadi pada zaman Nabi juga, bahkan sebelum Nabi Muhammad?Lalu saya berpegang pada penafsiran yang mengatakan bahwa, siapapun yang percaya kepada Tuhan dan mempunyai kitab suci sebagai pegangan mereka dalam beragama, maka mereka masuk dalam kategori ahli kitab. Jadi, saya kira persoalan ini terpulang pada keyakinan masing-masing. Dan saya yakin, Konghucu juga ahli kitab.
ULIL: Pernikahan beda agama ini sampai sekarang masih disaput kontroversi di tengah masyarakat. Mas Nurcholish, bagaimana Anda menanggulangi kontroversi ini?
AN: Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelum kami memutuskan untuk menikah, kami sudah mengkalkulasi sampai sejauh mana kira-kira respons dan reaksi yang bakal muncul. Tentu banyak orang yang menentang atau bertanya-tanya; apakah perkawinan beda agama ini dibolehkan atau tidak, secara teologis. Itu memang jauh-jauh hari sudah kita prediksi. Nah, saat sekarang muncul kontroversi, kita sebetulnya sudah menyiapkan diri kita masing-masing, paling tidak secara psikologis.
ULIL: Di kalangan Konghucu sendiri, apakah ada penolakan Mey?
AMY: Secara tegasnya saya belum pernah dengar. Dalam beberapa bulan ini saya tidak lagi berhubungan dengan orang-orang Konghucu. Bulan Mei awal kemarin, saya sudah mengundurkan diri dari Gemaku Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia). Salah satu alasan saya, karena mau menikah dengan seorang muslim.
ULIL: Mas Nurcholish, banyak yang terlalu yakin, bahkan tanpa studi sekalipun, bahwa mereka yang melakoni pernikahan beda agama tak akan pernah mengecap bahagia. Tanggapan Anda?
AN: Pertanyaannya adalah: apakah kebahagiaan itu melulu hadir karena faktor kesamaan agama? Saya pikir, banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kebahagiaan kita, dan itu tidak melulu masalah agama semata. Kalau kita lihat, banyak juga orang yang menikah seagama, tapi tidak merasakan bahagia. Saya kira, masalah kesamaan agama tidak secara langsung terkait dengan kebahagiaan dalam berumah tangga.
ULIL: Mbak Mei, ketika nanti punya anak, apa anak-anak Anda akan diberi kebebasan untuk memilih agamanya sendiri?
AMN: Saya pribadi, sebetulnya lebih senang kalau anak saya tidak perlu diajarkan “agama”. Sebab, yang saya lihat selama ini, agama justru sering memecah-belah persaudaraan kita. Banyak orang yang selalu mengatasnamakan agama untuk perdamaian dan segala macam niat baik, nyatanya itu semua omong kosong belaka. Bahkan, agama seringkali dipakai untuk menjustifikasi pertumpahan darah dan membunuh sesama manusia.
ULIL: Bagaimana pendapat Anda, Mas Nurcholish?
AN: Bagi saya, anak, seperti yang dikatakan Kahlil Gibran, bukan milik siapa-siapa. Anak milik diri mereka sendiri. Jadi, anak sebetulnya bukan milik orang tua juga. Nah, bagi saya, peran kita hanya sebatas bagaimana mengajarkan mereka supaya menempuh jalan yang benar, tidak menyimpang, dan secara sosial juga tidak merugikan orang lain. Yang memutuskan soal agama, biarlah anak saya sendiri. (www.islamlib.com)


Blog Updated at: 7:08 PM